Oleh: Basrin Nourbustan
Mandor,
sebuah kota kecil, ibukota Kecamatan Mandor, Kabupaten Pontianak
(sekarang Kabupaten Landak-red). Terletak sekitar 89 km sebelah Timur
Kota Pontianak, ibukota Provinsi Kalimantan Barat.
Kota kecil
tersebut mempunyai arti penting dan mengandung kenangan yang dalam di
hati sanubari setiap pendudukan Kalimantan Barat. Karena di kota itulah
33 tahun yang lalu, atau tepatnya tanggal 28 Juni 1944, tentara
pendudukan Jepang dalam Perang Dunia II melakukan pembunuhan missal
terhadap pemimpin politik, pemuka masyarakat serta kaum cerdik pandair
dan raja-raja di Kalimantan Barat.
Kini di kota kecil itu telah
berdiri dengan megah sebuah monument. Monumen sejarah bangsa yang akan
selalui mengisahkan betapa kekejaman bangsa asing sipenjajah, tetapi
sebaliknya monument itu menggambarkan betapa berani dan nekadnya
perlawanan rakyat terhadap penjajahnya. Untuk pembangunan monument yang
menjadi idaman rakyat Kalimantan Barat sejak lama itu, pmerintah daerah
dengan persetujuan DPRD provinsi mengeluarkan anggaran belanja tahun
1977/1978 sebesar Rp48 juta. Untuk pembiayaan pintu gerbang, jalan,
monument, plaza serta rumah petugas, pemugaran makam missal serta
bangunan penyerta lainnya.
Peresmian monument Mandor dilakukan oleh
Gubernur Kepala Daerah Kalimantan Barat, Kadarusno, hari Selasa tanggal
28 Juni 1977 bersamaan dengan ziarah missal secara tradisional yang
diikuti para ahli waris korban, pejabat pemerintahan serta masyarakat
umum.
Kisah relief
Monumen Mandor dilengkapi dengan lukisan
relief memanjang yang melukiskan kisah kejadian sebenarnya antara tahun
1942 hingga tahun 1945 di Kalimantan Barat. Bahagian pertama melukiskan
kedatangan Angkatan Laut Jepang ke Kalimantan Barat seraya merampas
harta milik penduduk terutama perhiasan emas dan berlian dan melakukan
perkosaan terhadap kaum perempuan terutama gadis-gadis.
Karena tidak
senang melihat tingkah laku tentara Jepang itu, maka pemuka masyarakat
dan cerdik pandai bersama raja-raja mengadakan usaha perlawanan. Dimulai
dengan rapat-rapat tersembunyi. Bahagian ketiga lukisan itu
menggambarkan usaha perlawanan berhasil diketahui oleh pihak tentara
Jepang yang dilanjutkan dengan penangkapan-penangkapan. Bahagian
berikutnya menggambarkan pemeriksaan serta penyiksaan-penyiksaan dan
pembunuhan. Klimak dari lukisan itu menggambarkan perlawana rakyat
terhadap tentara Jepang di bawah pimpinan Panglima Pang suma, seorang
Panglima adapt Dayak di Meliau, kabupaten Sanggau. Panglima Pang suma
berhasil membunuh beberapa perwira Jepang. “Relief ini melukiskan bahwa
cacingpun akan melawan bila terus-menerus diinjak-injak,” komentar
seorang pengunjung pada hari pembukaan monument tersebut.
Dua versi
Mengenai
jumlah korban yang terbunuh dan terkubur secara massal di Mandor itu
sampai dewasa ini terdapat dua versi. Versi pertama bersumber dari
orang-orang yang menyaksikan pelaksanaan hukuman mati terhadap Yamamoto,
Komandan Kompeitai jepang di Kalimantan Barat tahun 1942-1945.
Yamamoto
oleh Pengadilan Militer Sekutu dinyatakan bersalah sebagai penjahat
perang. Ia dijatuhi hukuman mati di depan regu tembak di lapangan
terbuka, yang menjadi lapangan sepak bola Khatulistiwa (saat ini markas
Poltabes Pontianak).
Pasukan sekutu yang mengambil alih kekuasaan
dari Jepang di Kalimantan Barat dipimpin oleh Jenderal Sir Thomas Albert
Blamey GBE, KCB,CMG,DSO, ED; pemimpin tertinggi tentara Australia.
Karena pelaksanaan hukuman mati itu berlangsung di tempat terbuka, maka
masyarakat umum turut menyaksikannya. Di antara orang-orang yang
menyaksikannya terdapat Sultan Hamid II, guru-guru dan murid-murid
sekolah.
Menurut keterangan orang-orang yang menyaksikan saat
Yamamoto akan ditembak mati, Pengadilan Sekutu memenuhi permintaan
Yamamoto untuk mengemukakan sesuatu beberapa menit sebelum hukuman
dilaksanakan. Bekas komandan Kompeitan itu mengemukakan, bahwa dia
merasa ikhlas menerima hukuman itu, karena merasa seimbang dengan korban
yang dibunuh atas tanggungjawabnya sejumlah 50.000 orang.
Mayat
Yamamoto kemudian dikubur dekat komplek Kantor Gubernur Kepala Daerah
Kalimantan Barat sekarang (di Jl Sutan Syahrir, Kota Baru). Sekitar
tahun 1971, seorang penggali parit menemukan mayat tersebut dalam
keadaan sebagian masih utuh. Selanjutnya memindahkan kuburannya ke
tempat lainnya. Menurut keterangan, mayat Yamamoto oleh pihak kedutaan
Besar Jepang di Jakarta telah diangkut ke negerinya.
Versi ini
kemungkinan benar, sebab berdasarkan pengakuan dari orang yang langsung
bertanggungjawab atas pembunuhan itu, yaitu Yamamoto. Tetapi sebaliknya
mungkin juga tidak benar, sebab Yamamoto mengucapkannya pada saat dia
akan ditembak mati. Sehingga besrakemungkinan factor perasaannya sangat
mempengaruhi, terutama sikap kepahlawanan terhadap negerinya, sehingga
ingin menyatakan, bahwa kematiannya sendiri berbanding dengan kematian
penduduk daerah itu sebanyak 50.000 orang.
Sedangkan versi lain
bersumber dari keterangan Kiyotada Takahashi, seorang wartawan Jepang
yang berkunjung ke Kalimantan Barat tanggal 21 sampai 24 Maret 1977. Dia
datang bersama 20 orang temannya yang umumnya pernah bertugas di
Kalimantan Barat tahun 1942-1945.
Dia menjelaskan jumlah korban
ketika Jepang menduduki Kalimantan Barat seluruhnya 21.037 orang.
Dokumen mengenai itu telah diserahkannya kepada sebuah museum di Jepang.
Untuk
menemukan angka yang pasti mengenai jumlah korban tersebut, Pemerintah
Daerah Provinsi Kalimantan Barat dewasa ini mempersiapkan sebuah tim.
Kemungkinan tim tersebut akan dikirim ke Jepang mengunjungi museum yang
disebutkan oleh Kiyotada Takahashi itu.
Komplotan besar
Surat
kabar “Borneo sinbun” yang terbit Sabtoe 1 sitigatu 2604 menurunkan
berita utama berjudul “Komplotan Besar yang mendoerhaka oentoek melawan
Nippon soedah dibongkar sampai ke akar-akarnya”. Kepala-kepala komplotan
serta lain-lainnya ditembak mati. Keamanan di Borneo-Barat tenang
kembali dengan sempoerna. (Pengoemoeman Pasoekan di daerah ini pada
tanggal 1 sitigatu 19 Syowa).
Surat kabar yang terbit tiap Selasa,
Kamis, dan Sabtu itu dipimpin oleh R. Koakimoto, kini merupakan sumber
yang paling penting sebagai bahan penelitian kejadian tahun 1942-1945.
Pada
halaman depan yang memuat berita utama itu, dimuat foto beberapa
pemimpin yang disebutkannya sebagai komplotan besar melawan Jepang.
Antara lain Foto Pangeran Adipati (pewaris kesultanan Pontianak),
Panangian, J.E Pattiasina, Noto Sudjono, C.W Octavianus Lucas, Raden
Nalaprana, Ong Tjoe ie, Ng Ngiap Soen, Kai Liang Kie dan Ny. Amaliah
Rubini (istri Dr Rubini).
Penangkapan pertama berlangsung tanggal 23
Zyugatu 1943 dan kedua tanggal 24 Irigatu 1944. Kedua kali penangkapan
itu berlangsung waktu subuh. Mereka yang ditangkap itu langsung
disungkup kepalanya dengan selipi (kantong yang dibuat dari daun nipah
atau daun pandan). Sebagian dibunuh di Pontianak tetapi sebagian besar
di Mandor, Kabupaten Pontianak (sekarang Kabupaten Landak).
Di antara
korban terdapat Sultan Pontianak bersama 60 orang keluarganya, 11 orang
panembahan (raja) dari kerajaan-kerajaan kecl di seluruh Kalimantan
Barat, lima orang dokter, pemimpin politik serta pemuka masyarakat.
Dokter
Rubini dan istrinya, Ny. Amaliah Rubini termasuk korban yang dibawa ke
Mandor. Beliau adalah mertua Mayjen Wiyogo, Gubernur AKABRI udara di
Magelang sekarang (1977). Seorang korban lainnya adalah paman dari
Sunardi DM, Sekjen PWI Pusat sekarang (1977).
Menurut Borneo sinbun,
pemimpin pergerakan itu 48 orang. (Daftar nama sama seperti yang selalu
dipublikasikan media massa saat ini).
Nissinkai
Ketika
Balatentara Dai Nippon memasuki Kalimanta Barat, di daerah itu telah
berdiri 13 perkumpulan yang cukup berpengaruh. Pemimpin militer Jepang
memerintahkan organisasi tersebut dibubarkan dna dilarang. Ketiga belas
organisasi tadi dikatakan di bawah pengaruh Parindra.
Perintah
pemimpin militer tersebut menimbulkan kegelisahan dalam mayarakat. Dalam
pada itu muncullah kelompok lain yang menawarkan persatuan, untuk
menjaga kerukunan dan menghilangkan perselisihan antarbekas anggota ke
13 organisasi tadi. Borneo sinbun tidak mengungkapkan lebih lanjut
ketiga belas organisasi yang dimaksudkan itu. Tetapi mengatakan kemudian
muncullah sebuah organisasi baru yang berpura-pura memihak. Organisasi
itu diberi nama “Nissinkai” yang pembentukannya diusahakan oleh Pangeran
Agung, Sekretaris Sultan Pontianak. Dr Rubini, Ng Ngiap Soen,
Pattiasina. Mereka memilih Noto Soedjono sebagai pemimpinnya. Maksud
organisasi itu tetap yakti melawan Jepang. Mereka melalui operator radio
sering mengikuti siaran radio Amerika dan Inggris.
Pada perkembangan
berikutnya dalam “Nissinkai” bergabung pula pewaris Kesultanan
Pontianak Pengeran Adipati dan para panembahan seluruh Kalimantan Barat,
kaum cerdik pandai dan pemuka masyarakat.
Hubungan dengan Banjarmasin
Besar
kemungkinan gerakan “Nissinkai” di Kalimantan Barat yang berpusat di
Pontianak itu mempunyai hubungan dengan gerakan yang ada di Kalimantan
Selatan yang berpusat di Banjarmasin. Hal itu ditandai oleh datangnya
utusan Banjarmasin ke Pontianak dalam tahun 1944. Utusan itu terdiri
dari Dr Susilo dan Makaliwe. Mengenai Makaliwe ini pun tidak jelas. Ada
keterangan yang mengatakan beliau adalah dr Makaliwe yang namanya
diabadikan dengan nama jalan di daerah Grogol, Jakarta.
Setibanya di
Pontianak, kedua utusan Banjarmasin itu mendapat keterangan, bahwa di
Banjarmasin telah terjadi penangkapan-penangkapan oleh Jepang. Berita
itu disampaikan kepada pimpinan “Nissinkai”. Organisasi ini kemudian
segera membentuk pasukan yang diberi nama Pasukan Suka Rela atau pasukan
Penyerbuan Bersenjata. Mereka merencanakan penyerbuan ke markas
Keibitai, merebut senjata dan melancarkan gerakan serentak di seluruh
Kalimantan Barat pada permulaan Zyunigatu tahun 18 Syowa, sebagai hasil
rapat di gedung “Medan Sepakat”, (sekarang Jl Jendral Urip, gedung PPM)
Pontianak dua hari sebelumnya yang dihadiri 69 orang. Tetapi saying,
sebelum gerakan dilancarkan, mereka telah ditangkap oleh dinas rahasia
Jepang. Mereka semuanya, termasuk kedua orang utusan dari Banjarmasin
tersebut diangkut oleh Kompeitai dan dibunuh tanggal 28 Juni 1944.
Mengabadikan semangat perjuangan
Gubernur
Kepala Daerah Kalimantan Barat Kadarusno yang memimpin pemugaran
makam-makam pahlawan di daerha itu, ketika meresmikan monument
perjuangan Mandor, mengatakan usaha ini bukanlah berarti memuja
makam-makam atau menanamkan dan mengabadikan rasa dendam terhadap bangsa
Jepang, tetapi usaha ini bermaksud mengabadikan sejarah perjuangan
bangsa yang mengandung patriotisme dan semangat kepahlawanan serta
mengabadikan pengorbanan yang pernha diberikan oleh pejuang-penjuang
itu.
Mandor kini tidak lagi dianggap sebagai tempat angker, tetapi
sebaliknya merupakan salah satu tempat atau obyek pariwisata. Turis dari
dalam dan luar negeri semakin sering berkunjung ke sana, termasuk turis
dari Jepang. Monumen perjuangan Mandor kiri berperanan pula menilai
keadaan dimasa yang lalu dan menjadi pula monument pangkal tolak
hubungan baru antara rakyat Indonesia di Kalimantan Barat dengan rakyat
Jepang yang juga mengalami kesangsaraan semasa Perang Dunia II yang amat
dahsyat itu.